Tupolev
Tu-16 (dijuluki NATO dengan nama Badger) adalah sebuah pesawat jet pembom
strategis bermesin ganda yang dikembangkan dan digunakan oleh angkatan udara
Uni Soviet. Pesawat ini telah beroperasi selama lebih dari 50 tahun, dan masih
beroperasi di angkatan udara Tiongkok dengan varian Xian H-6.
Dirancang
untuk misi serangan jarak jauh, yang menargetkan target strategis seperti
markas persediaan, jembatan, pabrik, dan pelabuhan untuk mengurangi kemampuan
berperang musuh. Tu-16 diprodukasi dalam berbagai varian untuk mata-mata,
patroli maritim, pengumpul data elektronik intelijen, dan perang elektronik.
Tu-16
sempat diekspor ke Mesir, Indonesia dan Iraq. Pesawat pembom strategis ini
terus digunakan oleh angkatan udara dan angkatan laut Uni Soviet (kemudian
Rusia) hingga tahun 1993.
Bila
predikat Angkatan Udara terkuat di Asia Tenggara kini di pegang oleh Singapura,
maka di era tahun 60-an kekuatan angkatan udara negeri kita boleh dibilang
menjadi “singa”, tak cuma di Asia Tenggara, bahkan di kawasan Asia TNI-AU kala
itu sangat diperhitungkan. Bahkan Cina maupun Australia belum punya armada
pembom strategis bermesin jet. Sampai awal tahun 60-an hanya Amerika yang
memiliki pembom semacam(B-58 Hustler), Inggris (V bomber-nya, Vulcan, Victor,
serta Valiant) dan Rusia.
Gelar
“singa” tentu bukan tanpa alasan, di awal tahun 60-an TNI-AU sudah memiliki
arsenal pembom tempur mutakhir (dimasanya) Tu-16, yang punya daya jelajah cukup
jauh, dan mampu membawa muatan bom dalam jumlah besar. Pembelian Tu-16 AURI
didasari, terbatasnya kemampuan B-25, embargo suku cadang dari Amerika, dan
untuk memuaskan ambisi politik. “Tu-16 masih dalam pengembangan dan belum siap
untuk dijual,” ucap Dubes Rusia untuk Indonesia Zhukov kepada Bung Karno (BK)
suatu siang di penghujung tahun 50-an. Ini menandakan, pihak Rusia masih bimbang
untuk meluluskan permintaan Indonesia membeli Tu-16. Tapi apa daya Rusia, AURI
ngotot. BK terus menguber Zhukov tiap kali bersua. “Gimana nih, Tu-16-nya,”
kira-kira begitu percakapan dua tokoh ini. Akhirnya, mungkin bosan dikuntit
terus, Zhukov melaporkan juga keinginan BK kepada Menlu Rusia Mikoyan. Usut
punya usut, kenapa BK begitu semangat? Ternyata, Letkol Salatun-lah pangkal
masalahnya. “Saya ditugasi Pak Surya (KSAU Suryadarma) menagih janji Bung Karno
setiap ada kesempatan,” aku Marsda (Pur) RJ Salatun tertawa.
Ketika
ide pembelian Tu-16 dikemukakan Salatun saat itu sekretaris Dewan
Penerbangan/Sekretaris Gabungan Kepala-kepala Staf kepada Suryadarma tahun
1957, tidak seorangpun tahu. Maklum, TNI tengah sibuk menghadapi PRRI/Permesta.
Namun dari pemberontakan itu pula, semua tersentak. AURI tidak punya pembom
strategis B-25 yang dikerahkan menghadapi AUREV (AU Permesta), malah
merepotkan. Karena daya jelajahnya terbatas, pangkalannya harus digeser,
peralatan pendukungnya harus diboyong. Waktu dan tenaga tersita. Sungguh tidak
efektif. Celaka lagi, Amerika meng-embargo suku cadangnya. Alhasil, gagasan
memiliki Tu-16 semakin terbuka.
Salatun
yang menemukan proyek Tu-16 dari majalah penerbangan asing tahun 1957,
menyampaikannya kepada Suryadarma. “Dengan Tu-16, awak kita bisa terbang
setelah sarapan pagi menuju sasaran terjauh sekalipun dan kembali sebelum makan
siang,” jelasnya kepada KSAU. “Bagaimana pangkalannya,” tanya Pak Surya. “Kita
akan pakai Kemayoran yang mampu menampung pesawat jet,” jawab Salatun. Seiring
disetujuinya rencana pembelian Tu-16 ini, landas pacu Lanud Iswahyudi, Madiun,
kemudian turut diperpanjang.
Proses
pembeliannya memang tidak mulus. Sejak dikemukakan, baru terealisasi 1 Juli
1961, ketika Tu-16 pertama mendarat di Kemayoran. Ketika lobi pembeliannya
tersekat dalam ketidakpastian, Cina pernah dilirik agar membantu menjinakkan
“beruang merah”. Caranya, Cina diminta menalangi dulu pembeliannya. Namun usaha
ini sia-sia, karena neraca perdagangan Cina-Rusia lagi terpuruk. Sebaliknya,
“Malah Cina menawarkan Tu-4m Bull-nya,” tutur Salatun. Misi Salatun ke Cina
sebenarnya mencari tambahan B-25 Mitchell dan P-51 Mustang.
Jadi,
pemilihan Tu-16 memperkuat AURI bukan semata alat diplomasi. Penyebab lain
adalah embargo senjata Amerika. Padahal saat bersamaan, AURI sangat membutuhkan
suku cadang B-25 dan P-51 untuk menghantam AUREV.
Tahun
1960, Salatun berangkat ke Moskow bersama delegasi pembelian senjata dipimpin
Jenderal AH Nasution. Sampai kedatangannya, delegasi belum tahu, apakah Tu-16 sudah
termasuk dalam daftar persenjataan yang disetujui Soviet. Perintah BK hanya,
cari senjata. Apa yang terjadi. Tu-16 termasuk dalam daftar persenjataan yang
ditawarkan Uni Soviet. Betapa kagetnya delegasi.
“Karena
Tu-16 kami berikan kepada Indonesia, maka pesawat ini akan kami berikan juga
kepada negara sahabat lain,” ujar Menlu Mikoyan. Mulai detik itu, Indonesia
menjadi negara ke empat di dunia yang mengoperasikan pembom strategis selain
Amerika, Inggris dan Rusia sendiri. Hebat lagi, AURI pernah mengusulkan untuk
mengecat bagian bawah Tu-16 dengan Anti Radiation Paint cat khusus anti radiasi
bagi pesawat pembom berkemampuan nuklir. “Gertak musuh saja, AURI kan tak punya
bom nuklir,” tutur Salatun. Usul tersebut ditolak.
Segera
AURI mempersiapkan awaknya. Puluhan kadet dikirim ke Chekoslovakia dan Rusia.
Mereka dikenal dengan angkatan Cakra I, II, III, Ciptoning I dan Ciptoning II.
Mulai tahun 1961, ke-24 Tu-16 mulai datang bergiliran diterbangkan awak
Indonesia maupun Rusia. Pesawat pertama yang mendarat di Kemayoran dikemudikan
oleh Komodor Udara (sekarang Marsda TNI Pur Cok Suroso Hurip). Mendapat
perhatian terutama dari kalangan intel Amerika.
Kesempatan
pertama intel-intel AS melihat Tu-16 dari dekat ini, memberikan kesempatan
kepada mereka memperkirakan kapasitas tangki dan daya jelajahnya. Pengintaian
terus dilakukan AS sampai saat Tu-16 dipindahkan ke Madiun. U-2 pun mereka
libatkan. Wajar, di samping sebagai negara pertama yang mengoperasikan Tu-16 di
luar Rusia, kala itu beraneka ragam pesawat blok Timur lainnya berjejer
di Madiun.
Atraksi Ketangguhan Sang Bomber dan Persiapan Operasi Trikora
Saat Trikora dikumandangkan, angkatan perang Indonesia sedang
berada pada “puncaknya”. Lusinan persenjataan Blok Timur dimiliki. Mendadak
AURI berkembang jadi kekuatan terbesar di belahan bumi selatan. Dalam mendukung
kampanye Trikora, AURI menyiapkan satu flight Tu-16 di Morotai yang hanya
memerlukan 1,5 jam penerbangan dari Madiun. “Kita siaga 24 jam di sana,” ujar
Kolonel (Pur) Sudjijantono, salah satu penerbang Tu-16. “Sesekali terbang untuk
memanaskan mesin. Tapi belum pernah membom atau kontak senjata dengan pesawat
Belanda,” ceritanya kepada Angkasa. Saat itu, dikalangan pilot Tu-16 punya
semacam target favorit, yaitu kapal induk Belanda Karel Doorman.
Selain memiliki 12 Tu-16 versi bomber (Badger A) yang masuk dalam Skadron 41,
AURI juga memiliki 12 Tu-16 KS-1 (Badger B) yang masuk dalam Skadron 42 Wing
003 Lanud Iswahyudi. Versi ini mampu membawa sepasang rudal anti kapal
permukaan KS-1 (AS-1 Kennel). Rudal inilah yang ditakuti Belanda. Karena
hantaman enam Kennel, mampu menenggelamkan Karel Doorman ke dasar samudera.
Sayangnya, hingga Irian Barat diselesaikan melalui PBB atas inisiatif
pemerintah Kennedy, Karel Doorman tidak pernah ditemukan Tu-16.
Lain
lagi kisah Idrus Abas (saat itu Sersan Udara I), operator radio sekaligus
penembak ekor (tail gunner) Tu-16. Bulan Mei 1962, saat perundingan RI-Belanda
berlangsung di PBB, merupakan saat paling mendebarkan. Awak Tu-16 disiagakan di
Morotai. Dengan bekal radio transistor, mereka memonitor hasil perundingan.
Mereka diperintahkan, “Kalau perundingan gagal, langsung bom Biak,” ceritanya
mengenang. “Kita tidak tahu, apakah bisa kembali atau tidak setelah mengebom,”
tambah Sjahroemsjah yang waktu itu berpangkat Sersan Udara I, rekan Idrus yang
bertugas sebagai operator radio/tail gunner. Istilahnya, one way ticket
operation.
Namun
para awak Tu-16 di Morotai ini, tidak akan pernah melupakan jerih payah ground
crew-nya. “Yang paling susah kalau isi bahan bakar. Bayangkan untuk sebuah
Tu-16, dibutuhkan sampai 70 drum bahan bakar. Kadang ngangkutnya tidak pakai pesawat,
jadi langsung diturunkan dari kapal laut. Itupun dari tengah laut. Makanya,
sering mereka mendorong dari tengah laut,” ujar Idrus. Derita awak darat itu
belum berakhir, lantaran untuk memasukkan ke tangki pesawat yang berkapasitas
kurang lebih 45.000 liter itu, masih menggunakan cara manual. Di suling satu
per satu dari drum hingga empat hari empat malam. Hanya sebulan Tu-16 di
Morotai, sebelum akhirnya ditarik kembali ke Madiun usai Trikora.
Rudal Kennel
Kennel memang tidak pernah ditembakkan. Tapi ujicoba pernah
dilakukan sekitar tahun 1964-1965. Kennel ditembakkan ke sebuah pulau karang di
tengah laut, persisnya antara Bali dan Ujung Pandang. “Nama pulaunya Arakan,”
aku Hendro Subroto, mantan wartawan TVRI. Dalam ujicoba, Hendro mengikuti dari sebuah
C-130 Hercules bersama KSAU Omar Dhani. Usai peluncuran, Hercules mendarat di
Denpasar. Dari Denpasar, dengan menumpang helikopter Mi-6, KSAU dan rombongan
terbang ke Arakan melihat perkenaan. “Tepat di tengah, plat bajanya bolong,”
jelas Hendro.
Diuber Javelin
Lebih tepat, di masa Dwikoralah awak Tu-16 merasakan ketangguhan
Tu-16. Apa pasal? Ternyata, berkali-kali pesawat ini dikejar pesawat tempur
Inggris. Rupanya, Inggris menyadap percakapan AURI di Lanud Polonia Medan dari
Butterworth, Penang.
“Jadi mereka tahu kalau kita akan meluncur,” ujar Marsekal Muda
(Pur) Syah Alam Damanik, penerbang Tu-16 yang sering mondar-mandir di selat
Malaka.
Damanik
menuturkan pengalamannya di kejar Javelin pada tahun 1964. Damanik terbang
dengan ko-pilot Sartomo, navigator Gani dan Ketut dalam misi kampanye Dwikora.
Pesawat diarahkan ke Kuala Lumpur, atas saran Gani. Tidak lama
kemudian, dua mil dari pantai, Penang (Butterworth) sudah terlihat. Mendadak,
salah seorang awak melaporkan bahwa dua pesawat Inggris take off dari Penang.
Damanik tahu apa yang harus dilakukan. Dia berbelok menghindar. “Celaka, begitu
belok, nggak tahunya mereka sudah di kanan-kiri sayap. Cepat sekali mereka
sampai,” pikir Damanik. Javelin-Javelin itu rupanya berusaha menggiring Tu-16
untuk mendarat ke wilayah Singapura atau Malaysia (forced down). Dalam situasi
tegang itu, “Saya perintahkan semua awak siaga. Pokoknya, begitu melihat ada
semburan api dari sayap mereka (menembak), kalian langsung balas,” perintahnya.
Perhitungan Damanik, paling tidak sama-sama jatuh. Anggota Wara (wanita AURI)
yang ikut dalam misi, ketakutan. Wajah mereka pucat pasi.
Dalam keadaan serba tak menentu, Damanik berpikir cepat. Pesawat
ditukikkannya untuk menghindari kejaran Javelin. Mendadak sekali. “Tapi,
Javelin-Javelin masih saja nempel. Bahkan sampai pesawat saya bergetar cukup
keras, karena kecepatannya melebihi batas (di atas Mach 1).” Dalam kondisi high
speed itu, sekali lagi Damanik menunjukkan kehebatannya. Ketinggian pesawat
ditambahnya secara mendadak. Pilot Javelin yang tidak menduga manuver itu,
kebablasan. Sambil bersembunyi di balik awan yang menggumpal, Damanik membuat
heading ke Medan.
Segenap awak bersorak kegirangan. Tapi kasihan yang di ekor
(tail gunner). Mereka berteriak ternyata bukan kegirangan, tapi karena kena
tekanan G yang cukup besar saat pesawat menanjak. Akibat manuver yang begitu
ketat saat kejar-kejaran, perangkat radar Tu-16 jadi ngadat. “Mungkin saya
terlalu kasar naiknya. Tapi nggak apa-apa, daripada dipaksa mendarat oleh
Inggris,” ujar Damanik mengenang peristiwa itu.
Lain
lagi cerita Sudjijantono. “Saya ditugaskan menerbangkan Tu-16 ke Medan lewat
selat Malaka di Medan selalu disiagakan dua Tu-16 selama Dwikora. Satu pesawat
terbang ke selatan dari Madiun melalui pulau Christmas (kepunyaan Inggris),
pulau Cocos, kepulauan Andaman Nikobar, terus ke Medan,” katanya. Pesawat
berikutnya lewat jalur utara melalui selat Makasar, Mindanao, Kalimantan Barat,
Kalimantan Utara, Laut Cina selatan, selat Malaka, sebelum akhirnya mendarat di
Medan. Ada juga yang nakal, menerobos tanah genting Kra.
Walau terkesan “gila-gilaan”, misi ini tetap sesuai perintah. BK
memerintahkan untuk tidak menembak sembarangan. Dalam misi berbau pengintaian
ini, beberapa sempat ketahuan Javelin. Tapi Inggris hanya bertindak seperti
“polisi”, untuk mengingatkan Tu-16 agar jangan keluar perbatasan.
Misi ala stealth
Masih dalam Dwikora. Pertengahan 1963, AURI mengerahkan tiga
Tu-16 versi bomber (Badger A) untuk menyebarkan pamflet di daerah musuh. Satu
pesawat ke Serawak, satunya ke Sandakan dan Kinibalu, Kalimantan. Keduanya
wilayah Malaysia. Pesawat ketiga ke Australia. Khusus ke Australia, Tu-16 yang
dipiloti Komodor Udara (terakhir Marsda Purn) Suwondo bukan menyebarkan
pamflet. Tapi membawa peralatan militer berupa perasut, alat komunikasi dan
makanan kaleng. Skenarionya, barang-barang itu akan didrop di Alice Springs,
Australia (persis di tengah benua), untuk menunjukkan bahwa AURI mampu mencapai
jantung benua kangguru itu. “Semacam psi-war buat Australia,” ujar Salatun.
Padahal Alice Springs ditongkrongi over the horizon radar
system. “Untuk memantau seluruh kawasan Asia Pasifik,” ujar Marsma (Pur) Zainal
Sudarmadji, pilot Tu-16 angkatan Ciptoning II. Walau begitu, misi tetap
dijalankan. Pesawat diberangkatkan dari Madiun sekitar jam satu malam. “Pak
Wondo (pilot pesawat) tak banyak komentar. Beliau hanya minta, kita kumpul di
Wing 003 pukul 11 malam dengan hanya berbekal air putih,” ujar Sjahroemsjah,
gunner Tu-16 yang baru tahu setelah berkumpul bahwa mereka akan diterbangkan ke
Australia.
Briefing berjalan singkat. Pukul 01.00 WIB, pesawat meninggalkan
Madiun. Pesawat terbang rendah guna menghindari radar. Sampai berhasil menembus
Australia dan menjatuhkan bawaan, tidak terjadi apa-apa. Pesawat pencegat F-86
Sabre pun tak terlihat aktivitasnya, rudal anti pesawat Bloodhound Australia
yang ditakuti juga “tertidur”. Karena Suwondo berputar agak jauh, ketika tiba
di Madiun matahari sudah agak tinggi. “Sekitar pukul delapan pagi,” kata
Sjahroemsjah.
Penyusupan
ke Sandakan, dipercayakan ke Sudjijantono bersama Letnan Kolonel Sardjono
(almarhum). Mereka berangkat dari Iswahyudi (Madiun) jam 12 malam. Pesawat
membumbung hingga 11.000 m. Menjelang adzan subuh, mereka tiba di Sandakan.
Lampu-lampu rumah penduduk masih menyala. Pesawat terus turun sampai ketinggian
400 m. Persis di atas target (TOT), ruang bom (bomb bay) dibuka. Seperti
berebutan, pamflet berhamburan keluar disedot angin yang berhembus kencang.
Usai satu sortie, pesawat berputar, kembali ke lokasi semula. “Ternyata sudah
gelap, tidak satupun lampu rumah yang menyala,” kata Sudjijantono. Rupanya, aku
Sudjijantono, Inggris mengajari penduduk cara mengantisipasi serangan udara.
Akhirnya, setelah semua pamflet diserakkan, mereka kembali ke Iswahyudi dan
mendarat dengan selamat pukul 08.30 pagi. Artinya, kurang lebih sepuluh jam
penerbangan. Semua Tu-16 kembali dengan selamat.
Dapat dibayangkan, pada dekade 60-an AURI sudah sanggup
melakukan operasi-operasi penyusupan udara tanpa terdeteksi radar lawan.
Kalaulah sepadan, bak operasi NATO ke Yugoslavia dengan pesawat silumannya.
Akhir Perjalanan Sang Bomber
Sungguh ironis nasib akhir Tu-16 AURI. Pengadaan dan
penghapusannya lebih banyak ditentukan oleh satu perkara: politik! Bayangkan,
“AURI harus menghapus seluruh armada Tu-16 sebagai syarat mendapatkan F-86
Sabre dan T-33 T-bird dari Amerika,” ujar Bagio Utomo, mantan anggota Skatek
042 yang mengurusi perbaikan Tu-16. Bagio menuturkan kesedihannya ketika
terlibat dalam tim “penjagalan” Tu-16 pada tahun 1970.
Dokumen CIA (central intelligence agency) sebagaimana dikutip Audrey
R Kahin dan George McT Kahin dalam bukunya “Subversi Sebagai Politik Luar
Negeri” menulis: “Belanja senjata RI mencapai 229. 395.600 dollar AS. Angka itu
merupakan akumulasi perdagangan pada tahun 1958. Sementara dari Januari hingga
Agustus 1959 saja, nilainya mencapai 100.456.500 dollar AS. Dari jumlah ini,
AURI kebagian 69.912. 200 dollar AS, yang di dalamnya termasuk pemesanan 20
pesawat pembom.”
Tidak
dapat dipungkiri, memang, Tu-16 pembom paling maju pada zamannya. Selain
dilengkapi peralatan elektronik canggih, badannya terbilang kukuh. “Badannya
tidak mempan dibelah dengan kampak paling besar sekalipun. Harus pakai las yang
besar. Bahkan, untuk membongkar sambungan antara sayap dan mesinnya, laspun tak
sanggup. Karena campuran magnesiumnya lebih banyak ketimbang alumunium,” ujar
Bagio.
Namun Tu-16 bukan tanpa cacat. Konyol sekali, beberapa bagian
pesawat bisa tidak cocok dengan spare pengganti. Bahkan dengan spare yang
diambil secara kanibal sekalipun. “Kita terpaksa memakai sistem kerajinan tangan,
agar sama dan pas dengan kedudukannya. Seperti blister (kubah kaca-Red), mesti
diamplas dulu,” kenang Bagio lagi. Pengadaan suku cadang juga sedikit rumit,
karena penempatannya yang tersebar di Ujung Pandang dan Kemayoran.
Sebenarnya, persediaan suku cadang Tu-16 yang dipasok dari
Rusia, memadai. Tapi urusan politik membelitnya sangat kuat. Tak heran
kemudian, usai pengabdiannya selama Trikora – Dwikora dan di sela-sela nasibnya
yang tak menentu pasca G30S/PKI, AURI pernah bermaksud menjual armada Tu-16-nya
ke Mesir. Namun hal ini tidak pernah terlaksana.
Begitulah
nasib Tu-16. Tragis. Farewell flight, penerbangan perpisahannya, dirayakan oleh
para awak Tu-16 pada bulan Oktober 1970 menjelang HUT ABRI. Dijejali 10 orang,
Tu-16 bernomor M-1625 diterbangkan dari Madiun ke Jakarta. “Sempat ke sasar
waktu kita cari Monas,” ujar Zainal Sudarmadji. Saat mendarat lagi di Madiun,
bannya meletus karena awaknya sengaja mengerem secara mendadak.
Patut
diakui, keberadaan pembom strategis mampu memberikan efek psikologis bagi
lawan-lawan Indonesia saat itu. Bahkan, sampai pertengahan 80-an, Tu-16 AURI
masih dianggap ancaman oleh AS. “Lah, wong nama saya masih tercatat sebagai
pilot Tu-16 di ruang operasi Subic Bay, kok,” ujar Sudjijantono, angkatan Cakra
1.
Sekian tahun hidup dalam kedigdayaan, sampailah AURI (juga ALRI)
pada massa yang teramat pahit dalam perjalanannya. Pasokan suku cadang
terhenti, nasib pesawat tak jelas. Ditulis oleh Harold Crouch (“Politik dan
Militer di Indonesia”, 1978), AL dan AU yang bergantung pada teknologi yang
lebih maju dari AD tidak dapat memelihara lagi dengan baik peralatannya.
Pada awal tahun 1970, KSAU Marsdya Suwoto Sukendar mengatakan,
hanya 15 sampai 20 persen pesawat AURI yang dapat diterbangkan kapal ALRI hanya
40 persen karena ketiadaan suku cadang dari Uni Soviet. Tahun 1970, kemudian
dikenang sebagai tahun pemusnahan persenjataan Blok Timur.
Suwandi Sudjono
1961, dia menjemput dua pesawat Tu-16 Badger ke Rusia. Sembilan
tahun kemudian, 1970, dia pula yang menerbangkan pembom raksasa itu untuk
terakhir kali dan langsung meng-grounded.
Seperti sudah menjadi pengetahuan bersama, Indonesia pernah
mengoperasikan pembom strategis, Tupolev Tu-16 Badger. Jumlahnya tidak
tanggung-tanggung, 24 pesawat. 12 versi pembom (Badger A), 12 pesawat lagi
versi pembopong rudal Anti kapal permukaan KS-1 (AS-1 Kennel). Versi pembom
dioperasikan Skadron 41, sementara Tu-16 KS di Skadron 42. Keduanya beroperasi
dibawah kendali Wing 003.
Marsma (Pur) Suwandi Sudjono, penerbang Indonesia pertama yang
mencicipi Tu-16 sekaligus menerbangkannya untuk terakhir kali (farewell flight)
pada bulan Oktober 1970, menuturkan pengalaman yang dilaluinya 39 tahun lalu.
Disela keterbatasan daya ingat yang mulai menurun, penerbang lulusan Sekolah
Penerbang Lanjutan (SPL) X 1960 ini, menerima Angkasa di kediamannya di Komplek
Perumahan TNI AU, Jatiwaringin.
Diselimuti rahasia
Usai merampungkan pendidikan penerbang di SPL Yogjakarta, Letda
Udara Suwandi beserta tiga rekannya Sumarno, J Wattimena, dan DEF Dumatubun,
langsung ditempatkan di Skadron 1/Pembom, Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta.
Malang tak bisa dihindari, Wattimena dan Dumatubun gugur dalam latihan terbang
malam menggunakan pesawat B-25 Mitchell tanggal 25 Mei 1960. Pesawatnya jatuh
di daerah Pondok Gede (sekarang stasiun pengisian bahan bakar umum-Red), enam
hari sebelum Presiden Soekarno menyematkan wing penerbang di dadanya sebagai
penerbang TNI AU.
Belum sampai setahun bercokol sebagai bomber, Februari 1961
datang panggilan yang tidak pernah diduga-duga Suwandi. Dia dan Sumarno (marsma
purnawirawan, wafat 5 April 1991), ditugaskan menjemput pesawat yang paling
menakutkan saat itu. Hanya Amerika dengan pembom B-58 Hustler-nya serta Inggris
dengan pembom uniknya V bomber, yang mampu mengimbangi Uni Soviet. Lucunya,
Suwandi dan tentu juga Sumarno, mengaku tidak tahu-menahu seperti apa sosok
Tu-16 serta seberapa besar daya deterent-nya (bagi Barat). “Saya masih muda,
tidak tahu menahu. Saya hanya merasa senang karena ke luar negeri. Pokoknya,
tahunya berangkat dan membawa pulang Tu-16 dengan selamat,” tutur Suwandi, pria
kelahiran Banyumas, 4 April 1936.
“Padahal saya masih ko-pilot,” katanya lagi. Memang, ketika
diberangkatkan, Suwandi dan Sumarno masih berstatus ko-pilot (B-25). Tapi
begitulah keadaan TNI AU pada tahun-tahun 50-an dan 60-an. Terutama setelah
Konferensi Meja Bundar (KMB) tahun 1950 yang meninggalkan puluhan pesawat bagi
TNI AU, kebutuhan kapten pilot menjadi sangat mendesak. Comot sana-sini,
peralihan tugas hampir tidak terduga. Kalau hari ini terbang B-25, bisa saja
besoknya pilot bersangkutan terbang C-47 Dakota. Keadaannya semakin tak
terkendali, ketika Soekarno mengobarkan kampanye Trikora untuk merebut Irian
Barat.
Dengan persiapan terbilang kilat untuk mengejar kebutuhan
penerbang, Suwandi yang ber-callsign “Thunder Jet” dan Sumarno “Thunder Bird”
berangkat ke Riazan, Uni Soviet. Kedua pemuda ini didampingi Mayor Saroso Hurip
dan Mayor Sutopo. Mestinya, dituturkan Suwandi, Saroso Hurip yang akrab
dipanggil Pak Cok tentu sangat mengerti tujuan yang hendak dicapai. Entah
terlalu rahasianya, atau karena Saroso terlalu senior dibandingkan kedua anak
muda ini, selama perjalanan tidak banyak pembicaraan yang bisa dilakukan
Suwandi dengan Saroso. “Selama diperjalanan, Pak Cok tidak mengatakan apa-apa,”
kata Suwandi.
Setibanya
di Moskow, mereka langsung menuju Riazan, selatan Moskow. Pengiriman Suwandi
yang bisa disebut crash program, terlihat dari masalah bahasa. Keduanya tidak
diberikan kursus Bahasa Rusia. Jalan keluarnya diambil dengan memanfaatkan jasa
penterjemah. Pendidikan diberikan kepada Suwandi dan Sumarno sebagai ko-pilot
secara cepat. Begitu buru-burunya, mereka hanya empat bulan di Riazan sebelum
akhirnya pulang ke tanah air membawa Tu-16. Sementara Saroso dan Sutopo, sudah
lama kembali ke Indonesia.
Hari kepulanganpun tiba. Sekali lagi, Suwandi tidak diberitahu.
Terkesan dadakkan, dan dirahasiakan. Suwandi hanya ingat, ketika dua Polisi AU
Rusia datang menjemputnya tengah malam di sebuah hotel tempat menginap di Kota
Moskow. Petugas itu hanya berujar singkat sambil menyodorkan surat pengantar,
bahwa Suwandi harus segera berkemas untuk bersiap membawa Tu-16 ke Indonesia.
Disini uniknya. Begitu dijemput, mereka dibawa naik mobil
berputar-putar di Kota Moskow dengan arah yang sulit ditebak Suwandi maupun
Sumarno. Tidak hanya dibawa berkelok-kelok, mobil dan petugas yang tidak
mengucapkan sepatah katapun diganti, yang semakin mengaburkan bagi mereka dan
memang itulah tujuannya. “Ini khasnya intelijen,” jelas Suwandi.
Hingga sampailah mereka di sebuah pangkalan udara AU Uni Soviet.
“Saya tidak tahu nama pangkalannya dan kemana arahnya. Membingungkan sekali.”
Suwandi hanya melihat jejeran dalam jumlah besar, pesawat tempur dan pembom
Soviet. Tanpa membuang-buang waktu lagi, digelapnya malam, Suwandi dan Sumarno
mempersiapkan diri. Briefing singkat diberikan. Semua peralatan, termasuk
masker untuk menghindari kekurangan oksigen telah tersedia. Suwandi ditunjuk
sebagai ko-pilot Tu-16 yang dinomori M-1601. Sementara Sumarno M-1602. Pilotnya
orang Rusia.
Begitulah, dua pesawat Tu-16 pertama Indonesia berangkat dari
sebuah pangkalan udara Rusia yang tidak jelas nama dan letaknya. Dari sini,
mereka mengarah ke sebuah pangkalan di selatan Siberia, di wilayah Irkut. Dalam
perjalanan panjang melelahkan yang memakan waktu sekitar tujuh jam itu, tidak
banyak pula yang dibicarakan Suwandi dengan kapten pilotnya. Hanya hamparan
salju putih sejauh mata memandang, selama perjalanan hingga mendarat di Irkut.
Sekali lagi, di sini dia melihat deretan pesawat AU Rusia dalam jumlah besar.
Setelah melakukan persiapan secukupnya, pesawat kembali mengudara.
Kali
ini, mereka akan melintasi perbatasan menuju Cina. Demi keamanan dan menghemat
bahan bakar, mereka terbang di ketinggian 12 kilometer. Pendaratan berikutnya
ditentukan di Peking (sekarang Beijing-Red). Dari Peking, kedua pesawat
direncanakan mendarat di Rangoon, Myanmar. Namun karena Cuaca buruk, pendaratan
terpaksa dialihkan ke Kunming masih wilayah Cina, menjelang perbatasan Myanmar.
Esoknya, baru mereka mendarat di Rangoon. Selama perjalanan, hampir tidak
ditemui hambatan berarti, termasuk incaran dari pesawat-pesawat Barat.
Di Rangoon sudah menunggu Saroso dan Sutopo. Karena dalam
perjalanan ke Indonesia, kedua penerbang ini akan on board sebagai kapten
pilot. Lalu bagaimana dengan Suwandi dan Sumarno? “Kami disuruh ke Singapura
untuk refreshing, sebelum kembali ke Jakarta dengan menumpang airline,” jelas
Suwandi senyum.
Baru beberapa hari di Indonesia, Suwandi sudah mendapat perintah
operasi baru lagi. Dia ditugaskan ke Irian Barat menebarkan pamflet menggunakan
B-25. Tapi lagi-lagi, belum lama bertugas, dia diperintahkan untuk kembali ke
Rusia, persisnya ke Simferopol, untuk menjemput pesawat ketiga dan keempat
versi KS. Dalam keberangkatan kedua ini, TNI AU mengirim empat kapten pilot :
Kapten Udara Sardjono (pimpinan rombongan), Lettu Udara Jhony Herlaut, Lettu
Udara Suwandi, dan Letda Udara Sumarno. Karena sebelumnya ke Simferopol sudah
dikirim beberapa kadet penerbang, mereka langsung ditunjuk sebagai ko-pilot.
Rute yang diambil tidak berbeda dengan yang pertama. Waktu
pendidikan juga masih sama, empat bulan. Hanya saja kali ini, mereka sempat
menyaksikan penembakkan rudal KS, namun belum sempat terbang malam. Seperti
yang pertama, setibanya di Rangoon pesawat kembali diambil Alih oleh Pak Cok.
Adapun set crew pengambilan kedua ini : Suwandi dengan (alm) Isnaen, Jhony
Herlaut dengan Damanik, Sumarno dengan Rahmat, dan Sardjono dengan Masulili.
Sejak kedatangan kedua, berturut-turut setelah itu ke-24 pesawat
Tu-16 datang silih berganti. Sementara menunggu rencana perebutan Irian Barat
yang tidak jelas entah kapan, para penerbang berkebangsaan Rusia diinapkan di
Sarangan, Madiun. Saat itu, hanya tiga lanud yang bisa menampung Tu-16, yaitu
Lanud Halim Perdanakusuma, Iswahyudi Madiun, dan Polonia Medan. Menurut
Suwandi, orang-orang Rusia ini disiapkan untuk menghantam target favorit kala
itu, kapal induk Belanda Karel Doorman.
Sebagai
mantan penerbang Tu-16 dengan rekor jam terbang terlama, tentu banyak kisah
yang dilalui Suwandi selama hampir sepuluh tahun bersama pesawat karya sang
maestro Andrei Tupolev. Suwandi sangat yakin, bahwa untuk jam terbang, dia
paling banyak di Tu-16. Mengingat dialah orang pertama yang menerbangkan Tu-16,
sekaligus mengakhiri penerbangan Tu-16 untuk selama-lamanya di Indonesia.
Jatuh di ladang tebu
Begitu tiba di Indonesia, Tu-16 segera disiapkan menghadapi
kampanye Trikora untuk merebut Irian Barat, walau urung dilaksanakan. Lanud
Morotai turut disiapkan jika perang memang pecah. Namun setidaknya, keberanian
Awak Tu-16 pantas diacungkan jempol. Pernah ketika Armada ke-7 AL AS yang
berpangkalan di Hawaii melintas diperairan Indonesia, “Dengan beraninya kita
fly over di atas mereka,” aku Suwandi. Tindakan ini jelas sangat berisiko
tinggi. Apa jadinya kalau Armada ke-7 menembak jatuh waktu itu?
Dengan hadirnya Tu-16 dan puluhan pesawat Rusia lainnya
memperkuat AURI, benar-benar efektif dalam mendukung kedaulatan negara saat
itu. Boleh dikatakan, tidak satupun negara di kawasan ini “berani” menggelitik
Indonesia. Bagi Suwandi sendiri, selain bangga sebagai penerbang Tu-16 karena
terlibat dalam berbagai misi penting masa itu, juga tidak bisa melupakan
beberapa peristiwa selama aktif sebagai penerbang Tu-16.
Yang paling mencekam dan hampir merenggut nyawanya adalah
peristiwa tahun 1962, ketika pesawat yang diterbangkannya mendarat Darurat di
kebun tebu rakyat di desa Geneng, Madiun, Jawa Timur. Penerbangan nahas malam
itu hingga merenggut nyawa dua orang krew, merupakan bagian dari latihan
terbang malam yang belum sempat diterima Suwandi di Rusia. “Karena selama di
Simferopol kita tidak sempat terbang malam,” jelas Suwandi.
Malam itu, Bali ditetapkan sebagai daerah latihan. Disimulasikan
Bali disusupi musuh. Latihannya langsung di bawah pengawasan instruktur Rusia.
Ketika mesin pesawat dihidupkan, tidak ada tanda-tanda kejanggalan. Panel-panel
indikator di kokpit menunjukkan pesawat dalam kondisi siap diterbangkan.
Pesawat sudah mengambil posisi di ujung landasan pacu, tinggal
menunggu tanda dari tower. Setelah tower memberi izin, Suwandi mendorong
throttle untuk mendapatkan tenaga penuh agar bisa lepas landas. Perlahan,
pesawat mulai melaju ke arah selatan dan sesaat kemudian kesepuluh rodanya
mulai terangkat dari permukaan landasan. Melihat selintas ke indikator lalu ke
instrukturnya, Suwandi mengacungkan ibu jari pertanda semua berjalan baik. Pada
detik-detik menentukan itu, ketika pesawat menjelang ujung landasan, mendadak
satu mesin di sebelah kanan mati. “Padahal kita mendekati ujung landasan dengan
full speed,” tutur Suwandi. Kalau dihentikan, jelas pesawat akan overshoot dan
terjungkal ke dalam jurang kecil yang menganga di ujung landasan.
Apa boleh buat, Suwandi dan instrukturnya harus meneruskan
sesuai prosedur. Dengan satu mesin pesawat terus naik, dan setelah diskusi
singkat dengan instrukturnya, mereka memutuskan kembali ke base (RTB). Namun
upaya menghidupkan kembali mesin yang mati, tetap dilakukan. Pesawat berbelok,
siap mendarat kembali. Celakanya, ketika sampai di down wind pada ketinggian
sekitar 800 meter, mesin kedua pesawat yang membawa bahan bakar 30 ton itu
ikut-ikutan mati.
Menghadapi situasi genting seperti itu, Suwandi berusaha tetap
tenang. Mereka mempertahankan agar ketinggian pesawat tidak turun secara
drastis. “Mau loncat, pesawat terlalu rendah,” kata Suwandi. Akhirnya
instrukturnya memutuskan pesawat dipaksa masuk ke final (lintasan pada pola
pendaratan pesawat yang lurus ke landasan, di mana pesawat siap mendarat) agar
bisa mendarat secepat mungkin.
Tapi sudah tidak keburu. Pesawat stall dan jatuh menghujam kebun
tebu menjelang landasan. “Saya tidak tahu apa yang terjadi, karena begitu
menghujam, saya seperti sudah mati, tidak merasakan apa-apa lagi” akunya.
Apakah pesawat meluncur, Suwandi tidak bisa memastikan. “Beberapa detik sebelum
jatuh, roda saya turunkan, lalu dengan setengah berteriak saya perintahkan
Lettu Geraldus Ramba (second navigator-Red), fasten seat belt, turn off
electrical system, lalu saya rasakan benturan keras dan saya tidak tahu lagi
apa yang terjadi,” tutur Suwandi lagi.
Pesawat hancur berantakkan. Bagian depannya (nose) lepas dari
ruang kabin tengah, sementara ruang kabin tengah terpotong dari ekor (tail)
yang rupanya tertancap di tanah. Dengan kata lain, pesawat Tu-16 itu terbelah
menjadi tiga bagian. Di gelapnya malam itu, sulit mengetahui secara pasti
dimana Hidung pesawat dan dimana bagian tengah pesawat. Untung kebakaran tidak terjadi,
karena Sistem listrik sudah dimatikan.
Kerasnya benturan, membuat semua crew seperti batu yang
dilontarkan dari ketapel, terdorong ke depan. Kepala Geraldus sampai menyodok
di antara pilot dan kopilot. Posisi kepala pesawat yang miring ke kiri, menyulitkan
Suwandi untuk keluar. Dia terhimpit dan tidak bisa bergerak lagi. Lalu
terdengar suara, “Ndi, kon isih urip.” Suwandi tahu, yang bertanya Didi
Pribadi, first navigator. “Aku isih urip, mbok coba nggoleki Bantuan neng
jobo,” jawab Suwandi.
Sesaat kemudian, dia lihat kepala Geraldus di sebelahnya. “Tapi
saya tidak bisa melihat dengan jelas, karena gelap. Baru kemudian saya tahu
kepalanya tertutup lumpur. Lalu saya bersihkan agar bisa bernapas,” kata
Suwandi. Karena melihat instrukturnya terkulai tak berdaya, Suwandi mencolek
beberapa kali menggunakan kakinya. “Dia tidak beraksi, saya yakini dia tewas.”
Ada peristiwa lucu di sini. Wahyudi, tail gunner, mengira
Suwandi meninggal. Jadi setelah keluar dari bagian ekor pesawat, dia
mencari-cari dan meraba-raba karena gelapnya malam. Yang bisa diketahuinya
secara pasti hanyalah bagian ekor pesawat, dimana dia on board. Dia tidak
melihat, bahwa bagian lain dari pesawat terpental jauh dari ekor. Yang
ditemukannya ekor pesawat nungging ke atas. Wahyudi bergumam, “Berarti Badan
pesawat Amblas ke dalam tanah.” Langsung saja dia mengambil sikap sempurna,
memberi hormat kepada pilotnya yang “gugur”.
Setelah memberi hormat secukupnya, dalam kepanikkan yang luar
biasa, Wahyudi pergi melenggang untuk pulang ke rumahnya di Solo. “Kita
ditinggal begitu saja,” papar Suwandi. Dalam rentang waktu yang sulit diduga,
first navigator Didi Pribadi berhasil pula keluar dari Hidung pesawat lewat
pecahan yang menganga.
Dalam kecelakaan malam itu, dua orang langsung meninggal. Kopilot
(Rusia) dan special operator Letda Yoga. Tak lama berselang, penduduk setempat
datang berbondong-bondong sambil membawa obor. Terangnya cahaya obor
menyadarkan semua orang, bahwa pesawat telah terbelah menjadi tiga. Dengan
sedikit susah payah karena terikat safety belt, mereka keluarkan jenazah
kopilot. Saking tidak percayanya Suwandi akan keajaiban yang diberikan Tuhan
kepadanya untuk masih bisa bernapas, dipegangnya (maaf) kemaluannya. “Oh… masih
ada,” tuturnya sambil tertawa.
Menurut penelitian yang dilakukan kala itu, jelas Suwandi,
kecelakaan diduga karena terjadinya pengendapan ganggang mikro di dalam tanki
bahan bakar. Ganggang ini, tambah Suwandi, berkembang biak di dalam
molekul-molekul avtur. Jumlahnya terus bertambah, karena ternyata ketika masuk
ke filter menjelang ke pembakaran (burner), ganggang justru membelah diri dan
berkembang biak.
Sejak peristiwa itu, pemeriksaan selalu dilakukan sebelum Tu-16
terbang untuk mendeteksi kadar ganggang dalam tanki dengan mencelupkan alat
pendeteksi. Kemungkinan lain munculnya ganggang menurut Suwandi, adalah cara
penyulingan yang kurang sempurna. Beberapa hari kemudian, reruntuhan Bangkai
pesawat di bawa ke pangkalan dan ditempatkan di hanggar pemeliharaan. Didi
Pribadi kaget Alang kepalang begitu melihat pesawat. Ternyata, lubang tempat
dia meloloskan diri teramat kecil untuk lelaki dewasa seperti dia bisa keluar.
“Ajaib, sulit dipercaya,” papar Suwandi.
20 mesin
Tu-16 terlibat penuh dalam kampanye Trikora dan Dwikora. Hanya
saja, Dwikora lebih banyak memberikan kesan kepada Suwandi. Sebutlah suatu
malam, Suwandi diperintahkan Komodor Leo Wattimena terbang di atas Kuala
Lumpur. “Leo yang memerintahkan, dia juga ikut,” aku Suwandi. Skenarionya lebih
kurang begini: Tu-16 terbang dari Medan dan akan show of force di atas
Kualalumpur. Untuk menipu radar lawan, pesawat Il-28 Beagle yang diterbangkan
Oloan Silalahi disuruh berputar-putar di atas Belawan. Tapi apa yang terjadi.
Baru saja pesawat memasuki wilayah udara Singapura, mendadak seluruh lampu
padam. Inggris yang mengetahui kedatangan bomber menakutkan itu, langsung
bertindak. Tu-16 di-jammed!
Kapten Suwandi yang sebenarnya belum diizinkan terbang malam
oleh Dan Wing 003 Letkol Suyitno, sempat kehilangan akal. Avionik tidak
berfungsi, Sistem navigasi dibuat macet. Tapi tidak ada waktu lagi untuk
berdebat. Dia langsung memutar arah pesawat, dan segera mengontak lewat radio
tower Medan. Begitulah, lewat tuntunan radio dan kompas magnetik, dia menyusuri
“jalan” ke Medan hingga mendarat dengan selamat.
Sebagai pesawat pembom jarak jauh (strategic bomber),
pergerakkan Tu-16 sangat ketat. Penggunaan bom dan roketnya, konon harus seizin
presiden. Pola terbangnya tak pernah lepas dari intelligence, surveillance, dan
reconnaissance (ISR). Semisal diperintahkan stand by di Medan. Dari Madiun,
pesawat akan terbang 100 kilometer dari batas pantai selatan ke arah barat. Tak
jarang pula, mereka “bermain” hingga mencapai Pulau Andaman sebuah pulau kecil
di Teluk Bengal yang memisahkan India dan Myanmar.
Presiden Soekarno yang menyadari kebesaran AURI, tak jarang
memanfaatkan AURI untuk mempertegas kedaulatan negara. Kalau bertepatan Hari
Kemerdekaan, puluhan pesawat mulai dari pemburu, pembom, angkut, dan latih,
melintas seperti menutupi langit Istana Merdeka. Juga bertepatan Hari ABRI
(sekarang TNI) di Kemayoran. Hal yang sama juga diminta Soekarno setelah Irian
Barat kembali ke pangkuan RI.
Tapi
dengan meletusnya gerakan militer yang berupaya menjatuhkan pemerintahan
berkuasa pada tanggal 30 September 1965 yang akhirnya berhasil ditumpas TNI,
membawa dampak sangat besar buat AURI. Hubungan diplomatik Indonesia dengan
negara-negara Timur menjadi putus. Bagi AURI berarti hilangnya sumber utama
pemasok suku cadang. Alhasil, secara perlahan-lahan kesiapan pesawat-pesawat
negara Timur ini mulai menurun. “Dalam setahun paling hanya 12 kali terbang,”
jelas Suwandi
Kanibalisasi tidak bisa dielakkan, untuk mempertahankan agar
sejumlah pesawat tetap terbang. Sampai akhirnya pada suatu hari di bulan
Oktober 1970, dilakukan test flight Tu-16 registrasi M-1625 setelah dikanibal
habis-habisan. Itupun tidak segampang yang dibayangkan, karena suku cadang
pesawat yang satu belum tentu cocok dipasangkan ke pesawat yang lain. Aneh,
memang. Tapi menurut Marsda (Pur) Subagyo, Komandan Wing Logistik 040 saat itu,
mesinnya masih banyak. “Saat itu ada 20 mesin baru, tapi hanya mesin, suku
cadang yang lain tidak ada,” jelas Subagyo.
Maka hari itu, Komandan Wing 003 merangkap Komandan Skadron 41
Letkol Suwandi (pilot), Kapten Udara Rahmat Somadinata (kopilot), dan Kapten
Nav. Beny Subyanto (first navigator), menerbangkan M-1625. Yang paling
menyentuh pada hari itu, M-1625 merupakan satu-satunya dari sekian puluh pesawat
Tu-16 yang tersisa dalam kondisi siap terbang.
M-1625 terbang dengan baik hingga ketinggian 4.000 kaki di atas
landasan. Hari itu, selain mereka rayakan dengan kembali terbangnya Tu-16
setelah disiapkan sekian lama, juga hari pertama para penerbang menerima uang
wing.
Untuk kedua kalinya, Suwandi kembali diuji. Di ketinggian 4.000
kaki di atas landasan, kedua mesin mati berbarengan. Sebagai penerbang senior,
Suwandi bertindak tenang. Tanpa memperlihatkan kepanikkan, pesawat diarahkannya
ke landasan sambil memanfaatkan daya luncur pesawat. Landing gear diturunkan,
dan begitu roda-roda menjejak landasan Suwandi segera melepaskan brake chute.
Pesawat terhenti di ujung landasan.
Lalu apa? “Sejak hari itu, semua Tu-16 saya grounded,” kata
Suwandi. Agar para penerbang tidak nganggur, mereka disalurkan ke Skadron
Angkut, Merpati, dan Garuda. “Termasuk Lettu Surendro (suami Megawati Soekarno
Putri, saat itu, yang kemudian gugur ketika menerbangkan Sky- van-Red),” tambah
Suwandi. Sebelum keputusan politik men-scrapped Tu-16 keluar sebagai syarat
memperoleh F-86 Sabre dan T-33 T-bird dari Amerika, sekian lama pembom Tu-16
sempat dijejer di pinggir landasan Iswahjudi, Madiun, tanpa “penunggu”.
0 komentar:
Posting Komentar