![]() |
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono |
Sekretariat Nasional Forum
Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas FITRA), melansir potensi kerugian
negara di 83 Kementerian/Lembaga (K/L) selama dua tahun pemerintahan
SBY-Boediono, mencapai Rp 16,4 triliun.
Direktur Riset Seknas FITRA Maulana mengatakan, potensi kerugian negara
diperoleh dari hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2009, 2010, dan
2011, terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun Anggaran (TA)
2008, 2009, dan 2010.
"Potensi kerugian negara Rp 16,4 triliun, dengan 5.870 kasus di 83
K/L," ujar Maulana di Jakarta, Minggu (15/7/2012).
Maulana menjelaskan, potensi kerugian negara bersumber dari hasil pemantauan
tindak lanjut pemeriksaan BPK dengan status 'belum ditindaklanjuti' sebanyak
2.886 kasus, dengan nilai kerugian negara Rp 7,4 triliun; serta status 'belum
sesuai dan dalam proses tindak lanjut' sebanyak 2.984 kasus, dengan potensi
kerugian negara sebesar Rp 9 triliun.
"Data ini menunjukan bahwa banyak K/L mengabaikan hasil audit
BPK," imbuh Maulana.
Dalam analisis Seknas FITRA, Rp 16,4 triliun sama dengan dana bantuan
operasional sekolah (BOS) untuk 23 juta siswa SMP, dana BOS bagi 28 juta siswa
SD, dan dana Jamkesmas untuk 228 juta rakyat.
Atas temuan ini, Seknas FITRA mengeluarkan tiga rekomendasi. Pertama,
menuntut Presiden SBY memperbaiki keuangan negara yang masih banyak
penyimpangan dalam pengelolaan oleh para pejabat publik.
"Jangan jalan-jalan plesiran melulu ke luar negeri! SBY harus lebih
fokus memperbaiki banyaknya kebocoran uang negara," tegas Maulana.
Kedua, kebocoran uang negara pada tahun anggaran 2008, 2009, dan 2010,
memperlihatkan tidak adanya political will (niat politik) Pemerintah SBY dalam
pemberantasan korupsi.
Pemberantasan korupsi, lanjut Maulana, hanya jargon untuk pencitraan
pemerintahan SBY. Ketiga, menutunt DPR menggunakan hak pengawasan mereka
terhadap realisasi anggaran di K/L negara, agar kebocoran anggaran bisa
diminimalisasi.
"Selama ini, publik kecewa karena DPR menggunakan hak pengawasannya
sebagai barter DPR, untuk meminta jatah program atau anggaran kepada eksekutif.
Sehingga, fungsi pengawasan ditukar jadi materi atau anggaran yang berakibat
pada kebocoran anggaran yang tidak bisa dihindari," papar Maulana. (*) TRIBUNNEWS.COM
0 komentar:
Posting Komentar