
Pada zaman Nara, (710 – 784), istilah ini diucapkan saburau dan kemudian menjadi saburai. Selain itu terdapat pula istilah lain yang mengacu kepada samurai yakni bushi. Istilah bushi ( 武士 ) yang berarti “orang yang dipersenjatai/kaum militer”, pertama kali muncul di dalam Shoku Nihongi ( 続日本紀 ), pada bagian catatan itu tertulis “secara umum, rakyat dan pejuang (bushi) adalah harta negara”.
Kemudian berikutnya istilah samurai dan bushi menjadi sinonim pada akhir abad ke-12 (zaman Kamakura). Pada zaman Azuchi-Momoyama (1573 – 1600) dan awal zaman Edo (1603), istilah saburai berubah menjadi samurai yang kemudian berubah pengertian menjadi “orang yang mengabdi”.
Namun selain itu dalam sejarah militer Jepang,
terdapat kelompok samurai yang tidak terikat/mengabdi kepada seorang
pemimpin/atasan yang dikenal dengan rōnin ( 浪人 ). Rōnin ini sudah ada sejak
zaman Muromachi (1392).
istilah rōnin digunakan bagi samurai tak bertuan
pada zaman Edo (1603 – 1867). Dikarenakan adanya pertempuran yang
berkepanjangan sehingga banyak samurai yang kehilangan tuannya.
kehidupan seorang rōnin bagaikan ombak dilaut
tanpa arah tujuan yang jelas. Ada beberapa alasan seorang samurai menjadi
rōnin. Seorang samurai dapat mengundurkan diri dari tugasnya untuk menjalani
hidup sebagai rōnin. Adapula rōnin yang berasal dari garis keturunan, anak
seorang rōnin secara otomatis akan menjadi rōnin. Eksistensi rōnin makin
bertambah jumlahnya diawali berakhirnya perang Sekigahara (1600), yang
mengakibatkan jatuhnya kaum samurai/daimyo yang mengakibatkan para samurai
kehilangan majikannya.
Sejarah Samurai,Dalam catatan sejarah militer di Jepang, terdapat data-data yang menjelaskan
bahwa pada zaman Nara (710 – 784), pasukan militer Jepang mengikuti model yang
ada di Cina dengan memberlakukan wajib militer9 dan dibawah komando langsung
Kaisar. Dalam peraturan yang diberlakukan tersebut setiap laki-laki dewasa baik
dari kalangan petani maupun bangsawan, kecuali budak, diwajibkan untuk
mengikuti dinas militer. Secara materi peraturan ini amat berat, karena para
wakil tersebut atau kaum milter harus membekali diri secara materi sehingga
banyak yang menyerah dan tidak mematuhi peraturan tersebut. Selain itu pula
pada waktu itu kaum petani juga dibebani wajib pajak yang cukup berat sehingga
mereka melarikan diri dari kewajiban ini. Pasukan yang kemudian terbentuk dari
wajib militer tersebut dikenal dengan sakimori ( 防人 ) yang
secara harfiah berarti “pembela”, namun pasukan ini tidak ada
hubungannya dengan samurai yang ada pada zaman berikutnya.
Setelah tahun 794, ketika ibu kota dipindahkan dari Nara ke Heian (Kyoto),
kaum bangsawan menikmati masa kemakmurannya selama 150 tahun dibawah
pemerintahan kaisar. Tetapi, pemerintahan daerah yang dibentuk oleh pemerintah
pusat justru menekan para penduduk yang mayoritas adalah petani. Pajak yang
sangat berat menimbulkan pemberontakan di daerah-daerah, dan mengharuskan
petani kecil untuk bergabung dengan tuan tanah yang memiliki pengaruh agar
mendapatkan pemasukan yang lebih besar. Dikarenakan keadaan negara yang tidak
aman, penjarahan terhadap tuan tanah pun terjadi baik di daerah dan di ibu kota
yang memaksa para pemilik shoen (tanah milik pribadi) mempersenjatai keluarga dan
para petaninya. Kondisi ini yang kemudian melahirkan kelas militer yang dikenal
dengan samurai.
Kelompok toryo
(panglima perang) dibawah pimpinan keluarga Taira dan Minamoto
muncul sebagai pemenang di Jepang bagian Barat dan Timur, tetapi mereka saling
memperebutkan kekuasaan. Pemerintah pusat, dalam hal ini keluarga Fujiwara,
tidak mampu mengatasi polarisasi ini, yang mengakibatkan berakhirnya kekuasaan
kaum bangsawan.
Kaisar Gonjo yang dikenal anti-Fujiwara, mengadakan perebutan kekuasaan dan
memusatkan kekuasaan politiknya dari dalam o-tera yang dikenal dengan insei
seiji. Kaisar Shirakawa,menggantikan kaisar Gonjo akhirnya menjadikan
o-tera sebagai markas politiknya. Secara lihai, ia memanfaatkan o-tera
sebagai fungsi keagamaan dan fungsi politik.
Tentara pengawal o-tera, souhei ( 僧兵 ) pun ia bentuk, termasuk
memberi sumbangan tanah (shoen) pada o-tera. Lengkaplah sudah o-tera memenuhi
syarat sebagai “negara” di dalam negara. Akibatnya, kelompok kaisar yang anti
pemerintahan o-tera mengadakan perlawanan dengan memanfaatkan kelompok Taira
dan Minamoto yang sedang bertikai.
Keterlibatan Taira dan Minamoto dalam pertikaian ini berlatar belakang pada
kericuhan yang terjadi di istana menyangkut perebutan tahta, antara Fujiwara
dan kaisar yang pro maupun kotra terhadap o-tera. Perang antara Minamoto, yang
memihak o-tera melawan Taira, yang memihak istana, muncul dalam dua pertempuran
besar yakni Perang Hogen (1156) dan Perang Heiji (1159).
Peperangan akhirnya dimenangkan oleh Taira yang menandai perubahan besar dalam struktur kekuasaan politik. Untuk pertama kalinya, kaum samurai muncul sebagai kekuatan politik di istana.
Taira pun mengangkat dirinya sebagai kuge ( 公家 – bangsawan kerajaan),
sekaligus memperkokoh posisi samurai-nya. Sebagian besar keluarganya diberi
jabatan penting dan dinobatkan sebagai bangsawan.
Keangkuhan keluarga Taira akhirnya melahirkan konspirasi politik tingkat
tinggi antara keluarga Minamoto (yang mendapat dukungan dari kaum bangsawan)
dengan kaisar Shirakawa, yang pada akhirnya mengantarkan keluarga Minamoto
mendirikan pemerintahan militer pertama di Kamakura (Kamakura Bakufu; 1192 –
1333).
Ketika Minamoto Yoritomo wafat pada tahun 1199, kekuasaan diambil alih oleh
keluarga Hojo yang merupakan pengikut Taira. Pada masa kepemimpinan keluarga
Hojo (1199 -1336), ajaran Zen masuk dan berkembang di kalangan samurai. Para
samurai mengekspresikan Zen sebagai falsafah dan tuntunan hidup mereka.
Pada tahun 1274, bangsa Mongol datang menyerang Jepang. Para samurai yang
tidak terbiasa berperang secara berkelompok dengan susah payah dapat
mengantisipasi serangan bangsa Mongol tersebut. Untuk mengantisipasi serangan
bangsa Mongol yang kedua (tahun 1281), para samurai mendirikan tembok
pertahanan di teluk Hakata (pantai pendaratan bangsa mongol) dan mengadopsi
taktik serangan malam. Secara menyeluruh, taktik berperang para samurai tidak
mampu memberikan kehancuran yang berarti bagi tentara Mongol, yang menggunakan
taktik pengepungan besar-besaran, gerak cepat, dan penggunaan senjata baru
(dengan menggunakan mesiu). Pada akhirnya, angin topanlah yang menghancurkan
armada Mongol, dan mencegah bangsa Mongol untuk menduduki Jepang. Orang Jepang
menyebut angin ini kamikaze (angin dewa).
Dua hal yang diperoleh dari penyerbuan bangsa Mongol adalah pentingnya
mobilisasi pasukan infantri secara besar-besaran, dan kelemahan dari kavaleri
busur panah dalam menghadapi penyerang. Sebagai akibatnya, lambat laun samurai
menggantikan busur-panah dengan “pedang” sebagai senjata utama samurai. Pada
awal abad ke-14, pedang dan tombak menjadi senjata utama di kalangan panglima
perang.
Pada zaman Muromachi (1392 – 1573), diwarnai dengan terpecahnya istana Kyoto
menjadi dua, yakni Istana Utara di Kyoto dan Istana Selatan di Nara. Selama 60
tahun terjadi perselisihan sengit antara Istana Utara melawan Istana Selatan
(nambokuchō tairitsu).
Pertentangan ini memberikan dampak terhadap semakin kuatnya posisi kaum
petani dan tuan tanah daerah (shugo daimyō) dan semakin lemahnya
shogun Ashikaga di pemerintahan pusat. Pada masa ini, Ashikaga tidak dapat
mengontrol para daimyō daerah. Mereka saling memperkuat posisi dan kekuasaannya
di wilayah masing-masing.
Setiap Han13 seolah terikat dalam sebuah negara-negara kecil yang saling
mengancam. Kondisi ini melahirkan krisis panjang dalam bentuk perang antar tuan
tanah daerah atau sengoku jidai (1568 – 1600). Tetapi krisis panjang ini
sesungguhnya merupakan penyaringan atau kristalisasi tokoh pemersatu nasional,
yakni tokoh yang mampu menundukkan tuan-tuan tanah daerah, sekaligus menyatukan
Jepang sebagai “negara nasional” di bawah satu pemerintahan pusat yang kuat.
Tokoh tersebut adalah Jenderal Oda Nobunaga dan Toyotomi Hideyoshi.
Oda Nobunaga, seorang keturunan daimyo dari wilayah Owari dan seorang ahli
strategi militer, mulai menghancurkan musuh-musuhnya dengan cara menguasai
wilayah Kinai, yaitu Osaka sebagai pusat perniagaan, Kobe sebagai pintu gerbang
perdagangan dengan negara luar, Nara yang merupakan “lumbung padi”, dan Kyoto
yang merupakan pusat pemerintahan Bakufu Muromachi dan istana kaisar.
Strategi terpenting yang dijalankannya adalah Oda Nobunaga dengan melibatkan
agama untuk mencapai ambisinya. Pedagang portugis yang membawa agama Kristen,
diberi keleluasaan untuk menyebarkan agama itu di seluruh Jepang. Tujuan
strategis Oda dalam hal ini adalah agar ia secara leluasa dapat memperoleh
senjata api yang diperjualbelikan dalam kapal-kapal dagang Portugis, sekaligus
memonopoli perdagangan dengan pihak asing. Dengan memiliki senjata api (yang
paling canggih pada masa itu), Oda akan dapat menundukkan musuh-musuhnya lebih
cepat dan mempertahankan wilayah yang telah dikuasainya serta membentuk
pemerintahan pusat yang kokoh.
Oda Nobubunaga membangun benteng Azuchi Momoyama pada tahun 1573 setelah
berhasil menjatuhkan Bakufu Muromachi. Strategi Oda dengan melindungi agama
Kristen mendatangkan sakit hati bagi pemeluk agama Budha. Pada akhirnya, ia
dibunuh oleh pengikutnya sendiri, Akechi Mitsuhide, seorang penganut agama
Budha yang fanatik, pada tahun 1582 di Honnoji, sebelum ia berhasil menyatukan
seluruh Jepang.
Toyotomi Hideyoshi, yang merupakan pengikut setia Oda, melanjutkan penyatuan
Jepang, dan tugasnya ini dituntaskan pada tahun 1590 dengan menaklukkan
keluarga Hojo di Odawara dan keluarga Shimaru di Kyushu tiga tahun sebelumnya.
Terdapat dua peraturan penting yang dikeluarkan Toyotomi : taiko kenchi
(peraturan kepemilikan tanah) dan katana garirei (peraturan perlucutan
pedang) bagi para petani. Kedua peraturan ini secara strategis bermaksud
“mengontrol” kekayaan para tuan tanah dan mengontrol para petani agar tidak
melakukan perlawanan atau pemberontakan bersenjata.
Keberhasilan Toyotomi menaklukkan seluruh tuan tanah mendatangkan masalah
tersendiri. Semangat menang perang dengan energi pasukan yang tidak tersalurkan
mendatangkan ancaman internal yang menjurus kepada disintegrasi bagi keluarga
militer yang tidak puas atas kemenangan Toyotomi. Dalam hal inilah Toyotomi
menyalurkan kekuatan dahsyat tersebut untuk menyerang Korea pada tahun 1592 dan
1597. Sayang serangan ini gagal dan Toyotomi wafat pada tahun 1598, menandakan
awal kehancuran bakufu Muromachi.
Kecenderungan terdapat perilaku bawahan terhadap atasan yang dikenal dengan
istilah gekokujō
ini telah muncul tatkala Toyotomi menyerang Korea. Ketika itu,
Tokugawa Ieyasu mulai memperkuat posisinya di Jepang bagian timur, khususnya di
Edo (Tokyo). Kemelut ini menyulut perang besar antara kelompok-kelompok daimyo
yang memihak Toyotomi melawan daimyo yang memihak Tokugawa di medan perang
Sekigahara pada tahun 1600. Kemenangan berada di pihak Tokugawa di susul dengan
didirikannya bakufu Edo pada tahun 1603.
0 komentar:
Posting Komentar